BERSIHKAN PEMBULUH DARAH DENGAN COKLAT
Coklat zaman reformasi jauh berbeda dengan coklat zaman orba. Dulu ia dikira
mengganggu kesehatan, sekarang dianggap menolong.
Pada zaman orba, kita enggan makan coklat karena ditakut-takuti akan rusak
giginya (kalau masih anak-anak) atau naik kadar kolesterol darahnya (kalau sudah
lansia). Soalnya, coklat mengandung gula dan lemak. Gula dalam coklat memang
bisa merusak gigi kalau penggemarnya ogah menggosok gigi sebelum tidur. Walaupun
ini bukan dosa coklat, namun coklat manis tetap saja dikambinghitamkan.
Momok lemak
Coklat juga dituduh meningkatkan kadar kolesterol darah karena ditebengi lemak
coklat. Lemak ini lemak jenuh. Jadi niscaya mengandung kolesterol yang bisa
meningkatkan kadar kolesterol darah kita. Untung, lemak ini dalam teknologi
percoklatan sudah disingkirkan sebagian, agar kokoanya dapat dilarutkan dalam
air, dikeringkan menjadi bubuk, atau dicetak menjadi batangan.
Supaya tidak rancu, istilah coklat (terjemahan dari chocolate Inggris) dipakai
untuk menunjukkan hasil olahan bubuk cocoa (kokoa) yang sial sekali disebut
"coklat" juga. Bubuk kokoa ini diambil dari biji pohon cacao (kakao), yang sial
juga disebut "coklat" lagi. Rupanya, bahasa Indonesia kita kekurangan kosa kata,
sampai ketiga bahan yang jelas berbeda-beda itu disebut "coklat" semua!
Sebaiknya coklat dipakai untuk menunjukkan chocolate saja.
Tuduhan buruk terhadap lemak kokoa itu timbul ketika kolesterol belum kita
ketahui bagaimana tingkahnya dalam tubuh.
Setelah kemudian ternyata ia terikat dengan suatu kompleks protein, membentuk
lipoprotein, agar dapat diangkut oleh plasma darah ke seluruh bagian tubuh, maka
kita membedakan dua jenis kolesterol: kolesterol jahat LDL (lowdensity
lipoprotein), dan kolesterol baik HDL (highdensity lipoprotein).
Lemak kokoa ternyata sama sekali tidak mengandung kolesterol jahat LDL, tetapi
kolesterol baik HDL.
HDL dikatakan baik karena ia mengumpulkan kelebihan kolesterol yang berlalu
lalang di jaringan tubuh, untuk diangkut kembali ke hati. Di sini kolesterol
dibongkar menjadi asam empedu, dan setelah selesai mencernakan lemak,
dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal dan "pintu belakang".
Bersih-bersih lemak
Pada penelitian dengan 42 orang relawan "kelinci" percobaan di University of
California, Davis, mereka masing-masing diminta makan satu batang coklat setiap
hari, selama 27 hari. Hasilnya mengejutkan! Kadar kolesterol total dalam darah
mereka tidak naik.
Kejutan kedua muncul ketika beberapa peneliti di universitas yang sama menemukan
senyawaan flavonoid dalam coklat, seperti yang terdapat dalam anggur merah.
Senyawaan ini sudah lama diketahui memperkuat pembuluh darah kapiler (pembuluh
halus) tubuh kita. Karena kuatnya, tubuh lalu mampu membersihkan jantung dari
kotoran kolesterol. Flavonoid dalam coklat diperkirakan juga membersihkan
jantung dari kotoran seperti itu.
Cara membersihkannya memang tidak secara langsung. Ia mencegah LDL yang
sebelumnya sudah ada dalam tubuh (dan bukan LDL berasal dari coklat), jangan
sampai teroksidasi menjadi plak yang menyumbat pembuluh darah jantung kalau
tertimbun terlalu banyak! Seorang "ekstremis" procoklat kemudian getol
berpromosi, "Mari kita bersihkan pembuluh darah dengan coklat!" Tetapi ini
agaknya optimisme berlebihan.
Ajakan itu kebetulan didukung oleh kebijakan pabrik coklat Eropa dan Amerika
yang memisahkan lemak dari kokoanya yang murni. Sebab, lemak ini dapat dijual
tersendiri untuk memasok pabrik sabun wangi, lipstik, dan bahan kosmetik
lainnya. Bagi pabrik coklat, lemak ini sebenarnya mengganggu karena membuat
coklat mudah meleleh dalam suhu panas. Ini merepotkan pekerjaan penyimpanan dan
pengangkutannya sebelum disantap konsumen.
Karena coklat batangan sangat diperlukan sebagai pendorong keriangan dan
semangat juang para prajurit, markas besar tentara Amerika meminta pabrik coklat
Hershey untuk menciptakan coklat batangan yang tahan panas. Itu akan dibagikan
kepada para anggota pasukan tempur di gurun pasir Kuwait yang terik ketika
menghadapi Perang Teluk melawan Saddam Husein tahun 1991.
Hershey berhasil menciptakan coklat Desert Bar yang tidak meleleh menghadapi
suhu udara setinggi 60oC. Resepnya merupakan rahasia perusahaan itu, yang dijaga
ketat jangan sampai dicontek perusahaan lain.
Mengapa tergila-gila?
Di Inggris dan Amerika, chocolate (yang lebih cepat ditangkap kalau disebut
choc), sangat disukai masyarakat ketimbang kudapan jenis lain. Para wanita
disinyalir lebih banyak mengkonsumsi choc dibandingkan dengan kaum pria. Wanita
yang gelisah atau mengalami depresi, larinya ke choc. Sedangkan kaum pria
larinya ke rokok! Tujuan mereka untuk mengatasi mood yang amburadul.
Kokoa memang sudah lama diketahui mengandung kafein, seperti kafein dalam kopi,
dan theobromine seperti yang dikandung dalam daun teh. Senyawaan alkaloid ini
bersifat vasodilator (zat yang menyebabkan pelebaran pembuluh darah). Akibatnya,
otot yang tadinya tegang menjadi rileks, dan jantung yang tadinya lesu digiatkan
lagi. Ini semua membuat mood jadi berubah. Dari murung ke riang. Coklat kemudian
dipuji sebagai bahan periang dan pendorong semangat.
Orang Amerika menghabiskan coklat hampir satu miliar kilogram setahun. Berarti 5
kg tiap orang per tahun. Pada hari Valentine saja, mereka membelanjakan setengah
miliar dolar untuk coklat. Diduga, kebutuhan mengemil dan makan coklat agak
berlebihan itu bukan karena ingin memuaskan nafsu makan semata-semata, tetapi
karena dorongan kultural juga. Selain nikmat, coklat menaikkan gengsi kalau
dipakai mengemil dalam pertemuan elite masyarakat. Kudapan berisi coklat selalu
terkesan lebih mewah daripada yang hanya berisi tepung, gula, susu, atau telur.
Kenyataan ini mendorong orang di seluruh dunia menyelipkan coklat ke bahan apa
saja yang pantas dimakan. Permen diberi coklat. Biskuit diselipi coklat. Wafer
dibalut coklat. Es krim, kue tar, dan sus diselundupi coklat. Di Indonesia malah
ada getuk lindri dan roti bantat yang diberi coklat.